Haris Azhar, SH, MA.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation,
Pengajar Hukum dan HAM Jamiah Trisakti dan Sekolah Strata Hukum Kincir Indonesia
Kuliah Umum Hukum di Sekolah Tahapan Syariat Gunung Jati
Tangerang, 21 Juli 2018

Problem Sentral

"Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di internal hukum. Makna equality before the law ditemukan di dempang semua konstitusi negara. Inilah norma yang melindungi properti asasi warga negara. Kesetaraan di hadapan syariat berjasa setiap penghuni negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Maka setiap aparat penegak syariat jatuh cinta secara konstitusional dengan nilai keseimbangan yang harus diwujudkan privat praktik, Namun menegakkan equality before the law tak tanpa kendala. Boleh berupa rintangan yuridis dan politis, atau rintangan sosiologis dan psikologis. maka diadakannya kegiatan kuliah umum ini privat rangka memberikan pencerahan tersapu dengan solusi – solusi permasalahan tersebut."

I. Bawah Hukum Konsep EBL dalam Yustisi di Indonesia
Equality Before the Law (seterusnya, bakal melancarkan penulisan disebut EBL) adalah konsep nan dulu universal (berlaku dimana saja) dan tekstual bakal syariat. Secara universal EBL sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap bani adam. Sedangkan tekstual, EBL tertulis dalam dokumen hukum yang induk aturan syariat yang mementingkan bahwa sifat hukum berlaku kerjakan semua orang ditempat syariat tersebut bermain. Sebaliknya, bersumber sisi hukum, boleh dilihat bahwa hukum tidak mengikhlaskan dirinya sahaja lakukan menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang biasa dimuka hukum. Takdirnya ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum.

Lebih jauh, salah satu unsur signifikan dalam hukum adalah substansinya yang patut memuliakan manusia, dalam bahasa Permakluman Umum Kepunyaan Asasi Basyar (DUHAM) disebut bak Kehormatan Manusia (Human Dignity). Plong rejim hukum HAM, EBL adalah tema yang historis memiliki sejarah yang strata. Berbagai peristiwa yang mengganggu nilai asasi manusia diakibatkan oleh praktik buruk dan pemanfaatan hukum sekedar untuk melayani kerinduan penguasa. Hal ini kemudian menjadi dasar tangkisan berbagai korban, komunitas terdampak yang menyuarakan hak asasi mereka. Konsolidasi persaksian HAM, misalnya, bisa dilihat berasal kemunculan DUHAM pada 1948. Pada DUHAM teragendakan kuat penampikan terhadap praktik diskriminasi (pasal 2). kian luas, pada DUHAM digunakan "setiap bani adam…" artinya tidak dapat cak semau pengecualian nasib baik terutama atas hoki nan dibutuhkan cak bagi eksistensi manusia untuk hidup lebih status, terjadwal memerosokkan diskriminasi hukum.

EBL yaitu salah satu konsep untuk melawan diskriminasi, sebagaimana tergambar di atas. Upaya mengembalikan praktik ini kembali menjadi episode dari muatan jawab Negara. Penjelasannya adalah, mula-mula, setiap negara ataupun otoritas harus mendasarkan kekuasaan dan pengaturannya berdasarkan pada hukum. Untuk Indonesia, situasi ini bisa dilihat dari pasal 1 ayat 3 UUD 19945, nan menyatakan bahwa 'Negara Indonesia merupakan Negara Hukum'. Kedua, hukum tersebut harus bertindak bagi setiap cucu adam, bukan sekedar warga negara. Pasal 28D menamakan bahwa 'Setiap orang berhak atas pengakuan, tanda jadi, konservasi dan kepastian hukum yang nonblok serta perlakuan yang sama dihadapan hukum'. Sedangkan pasal 27 (1) menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Berbunga kedua pasal diatas, bisa digambarkan bahwa ada perlakuan, nan seharusnya, sama baik bagi setiap cucu adam maupun bikin setiap penduduk negara. Perbedaannya, pada pasal 27 (1) suka-suka privat bab Warga Negara dan Penduduk. Sementara pada pasal 28D berada sreg bab HAM. Artinya, kesetaraan dimata hukum yaitu sesuatu yang mendasar baik bakal beban jawab negara terhadap setiap orang yang berbenda di Indonesia, atau bahkan dalam konteks mendunia (misalnya, disebutkan kerumahtanggaan pembukaan UUD 1945, '..turut serta menjaga perdamaian bumi..") dan bagi warga negaranya.

Turunan konstitusi dalam hukum atas kepastian EBL bisa dilihat dalam UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Otoritas Kehakiman pasal 4 (1) nan menyebutkan 'Pengadilan memejahijaukan menurut hukum dengan tidak memilah-milah orang'. Undang-undang ini mementingkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan badan Peradilan yang berada dibawahnya seperti mana yustisi umum, yustisi militer, kehakiman agama dan kehakiman manajemen usaha negara. Termasuk peradilan khas yang produktif dibawah peradilan umum, sebagai halnya pengadilan HAM, pengadilan anak, pengadilan perantaraan industrial, meja hijau perikanan, pengadilan tindak pidana korupsi dan pengadilan menggandar (pasal 18, pasal 25 dan pasal 27). Selain Mahkamah Agung, juga secara setimbang Kekuasaan Yustisi dolan bagi Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian sudah jelas bahwa Peradilan di Indonesia internal hal ini melalui Mahkamah Agung dan Badan-bodi Peradilan dibawahnya serta Pengadilan Konstitusi mengemban tugas menjamin persamaan setiap hamba allah di muka hukum (Equality Before the Law).

II. Praktik Peradilan di Indonesia
Praktik peradilan di Indonesia tak menunjukkan kerangka yang mulus dalam menjamin EBL terpenuhi bagi setiap orang di Indonesia. Pada bagian ini buat menggambarkan keburukan EBL akan fokus pada sejauh mana peradilan dapat diakses bikin anak adam miskin ataupun bahkan yustisi justru menjadi sesuatu yang mengerikan cak bagi warga sreg galibnya.

Sejumlah masalah dapat dilihat, dimulai dari, Mahkamah Agung itu sendiri yang menjadi ujung pengampu akses keadilan. Mahkamah Agung dalam upaya memastikan rencana kerjanya puas 2010 membuat 'Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung 2010-20135' yang memuat sejumlah keburukan, diantaranya,

"[..] dari penilaian organisasi atau Organizational Diagnostic Assessment (ODA) plong tahun 2009, kinerja rencana peradilan tetap mendapat sorotan dari berbagai kalangan, antara lain mengenai wara-wara proses yustisi nan tertutup, biaya berperkara yang tinggi, masih sulitnya akal masuk umum miskin dan terpinggirkan, serta proses penyelesaian perkara nan dirasakan masih sangat lama." (kejadian. 3)

Demikian pula dengan masyarakat internasional seperti World Justice Project yang setia menguji pengejawantahan peradilan di 46 negara, tertera Indonesia, terutama pada konteks Access to Justice (Akal masuk Kesamarataan). Survei yang dilakukan bertujuan untuk memotret bagaimana warga pada umumnya berurusan dengan ki aib syariat, konflik-konflik hukum, penilaian terbit warga atas proses penuntasan konflik baik secara lazim atau informal serta pengalaman orang-orang yang lain mengejar uluran tangan hukum atau yang tidak bisa menyelesaikan ki kesulitan hukumnya. Temuan dari pol WJP teranyar (2017) ialah 26 tip berpangkal responden mengalami insiden masalah hukum sepanjang dua masa terakhir; dari 26 uang di atas, terletak dua persen di mana salah suatu pihak mengalami kekerasan; mulai sejak jumlah 26 persen, semata-mata 8 persen nan berburu sambung tangan hukum (ke negara atau pihak ketiga) bagi penyelesaian masalahnya, sementara 92 persen tidak melakukannya; bermula 8 tip yang mencari bantuan syariat hanya 79 persen yang mendapati penyelesaian atas persoalan hukumnya; dari nan radu tersebut didapati hasil survei bahwa rata-rata masa nan dibutuhkan adalah 1,98 bulan; mengalami kesulitan uang untuk membayar biaya penyelesaian masalah sebanyak 4 uang lelah; menyatakan puas sebanyak 90 komisi. Dari 8 persen tersebut ada 88 uang tahu kemana harus mencari ujar-ujar syariat, 93 uang lelah yakin akan mendapatkan hasil yang adil dan 78 tip mendapatkan bantuan dari tukang yang mereka butuhkan.

Temporer coretan terbit kalangan mahajana, terutama dari kalangan pekerja bantuan hukum dan organisasi advokasi Hukum dan HAM, didapati sejumlah komplikasi yang mencitrakan persoalan bahwa syariat dan proses peradilan bukan menjadi pelindung akan semata-mata justru sebagai senjata yang mendiskriminasi warganya. Goresan ini dibuat melalui riset dan gelar perkata di 10 daerah tingkat di Indonesia, proses ini dilakukan partikular sebagai respon atas maraknya, apa nan sering disebut sebagai kriminalisasi terhadap berbagai lingkaran dari nan minoritas, rentan hingga bernuansa taktis serta memiliki kepentingan bisnis. Catatan tersebut terdiri dari 3 bagian; pra-judicial process (sebelum memasuki pengadilan), proses majelis hukum dan pembutkian, dan terakhir pada bagian vonis.

Pada penggalan permulaan, didapati temuan Bantuan Hukum yang lain memadai, seringkali ditunjuk secara sepihak oleh oknum aparat penegak hukum cak bagi sekedar upacara, atau ditunda pemberiannya. Justru n domestik sejumlah kasus bantuan hukum sama sekali tidak diberikan maka itu aparat penegak hukum; Tidak ada Piagam Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), Tak ada/penghentian penangguhan surat penangkapan dan penawanan, Pelapor tidak jelas, Pasal nan disangkakan enggak jelas/dipaksakan; Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak diberikan, Kolusi rekonstruksi kasus. Kedua, plong bagian Organ bukti, didapati beberapa hal, sebagai ciri adanya kriminalisasi; Penyiksaan cak bagi pengakuan, Alat bukti dan komoditas bukti palsu, hanya menggunakan saksi penyidik, Saksi dari tersangka kasus yang sama. Ketiga, pada bagian putusan, dimana ciri-cirinya adalah Saksi meringankan (a de charge) tidak dipertimbangkan oleh Hakim, Hakim menaksirkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dicabut, Pertimbangan Juri enggak sinkron dengan bukti yang masin lidah, Kesalahan penerapan hukum. (peristiwa 13-18)

Terbaru yaitu hasil mulai sejak Indonesian Judicial Reform Forum (IJRF) lega 2018, selain memotret sejumlah kemenangan institusional berbunga Reformasi Peradilan, juga masih mencatat sejumlah tantangan kedepan, sama dengan digambarkan dibawah ini,
"Pembaruan yustisi masih dipahami laksana tanggung jawab lembaga pengadilan amung dan belum dipahami misal tanggung jawab bersama seluruh buram peradilan, APH, advokat, bagan pendidikan syariat, dan masyarakat sipil.

Pembaruan peradilan hijau dirasakan hingga ke secara luas puas lembaga pidana, khususnya di MA. Pembaruan kehakiman belum menjangkau majelis hukum ditingkat bawah umpama cermin pertama lembaga perdata di aribaan publik, serta lembaga-rangka yustisi dan penegak syariat lainnya.

Pembaruan yustisi baru berjalan secara institusional khususnya di lembaga perdata pada sejumlah area dan tingkatan politis, dan belum menjangkau pada perbaikan syariat yang menyeluruh dan teratur. Hal ini terjadi karena keadaan Masterplan Pembaruan Syariat sebagai pemandu, serta belum optimalnya sinergitas prioritas pembaruan hukum oleh tiap-tiap cabang-cagak kontrol (DPR, Pemerintah dan gambar yudikatif).

Pelayanan peradilan masih diwarnai dengan adanya kriminalisasi, retribusi terlarang, biaya beracara yang tidak jelas, jadwal sidang nan tidak menentu, tetapan yang lain taat/ketidaktetapan putusan, serta kerahasiaan informasi bagi pihak di luar pihak yang berperkara.

Aparatur tulangtulangan peradilan belum seluruhnya menyadari sendang mandat dan tujuan utama proses peradilan dan penegakan hukum.
Advokasi pembaruan peradilan yang dilakukan makanya masyarakat sipil belum sepenuhnya terstruktur dan hingga ke sreg persoalan subtansial dengan memperalat data-data lembaga penegak hukum secara maksimal.

Pelaksanaan dan hasil acara-program pembaruan peradilan belum sepenuhnya diketahui secara luas makanya publik, melainkan minus hanya pada pihak-pihak yang intens memberikan asistensi program pembaruan." (peristiwa 18-19)

III. Inferensi dan Kebolehjadian EBL dimasa depan
Pemaparan di atas menayangkan bahwa beberapa temuan yang persistent (mutakadim berlanjut lama dan masih terjadi hingga hari ini); pertama, persoalan yustisi tidak hak yang merata dirasakan, dapat diakses atau terinformasikan untuk setiap turunan di Indonesia. Dengan kata lain EBL tidak ter-ejawantahkan dengan baik dan faali hanya dengan modal norma hukum, institusi dan penyediaan Sendang Daya Sosok; kedua, terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi peradilan yang membantut pemenuhan dan pelaksanaan EBL seperti masalah ekonomi dan pendidikan pemukim sebagai penikmat kehakiman, malah keburukan pendidikan pula menjadi keburukan di limbung para penegak hukum. Komplikasi politis juga muncul laksana pendesak berjalannya proses peradilan terutama pada kasus Kriminalisasi. Intern pra Judicial process, melibatkan Polisi, di mana Penjaga keamanan bekerja beralaskan perintah pembesar. Seringkali prinsip hukum kalah dari model perintah sama dengan ini. Sementara pihak meja hijau rumpil berani melakukan koreksi atas kesalahan dalam penyidikan oleh Kepolisian. Artinya SDM Perdata belum secara total menjadi independen dan obyektif; Ketiga, kebobrokan minimnya perubahan aturan (terutama hukum program intern berproses dalam peradilan). Kendatipun di suatu sisi disediakan Mahkamah Konstitusi untuk menguji dan mengubah adat main syariat, tetapi hal ini tidak menjamin tumbuhnya pembantu publik atas hukum dan aksesibilitas masyarakat pencari keadilan untuk dengan mudah memperalat dalam keefektifan haknya.

Silam apa yang terbelakang untuk membangun optimisme konservasi EBL pada sistem peradilan? Ada banyak yang bisa dijadikan rekomendasi bikin menjorokkan optimisme melawan persoalan diatas. Beberapa diantaranya berupa, permulaan, meningkatkan kualitas pekerja atau pelaku syariat yang memiliki wawasan baik dalam memahami mandu hukum tanpa berbasis keefektifan strategis alias ekonomi semata. Punya keberanian dan independen privat menjalankan praktik hukum; mempunyai kemampuan untuk mengaram hukum yang harus berpihak pada nan membutuhkan, tidak sekedar nan congah membayar atau menjadikan hukum misal obyek kontraktual (pelayanan jasa semata); memastikan semua syarat di atas bepergian merata pada profesi-profesi hakim, penuntut umum, advokat, penjaga keamanan dll. Kedua, kontribusi akademisi dalam membangun diskursus yang mendalam, berpikir logis hanya juga mudah dipahami oleh masyarakat, dalam konteks pendidikan publik. Bahkan takdirnya perlu mendorong kewiraan masyarakat untuk berargumentasi dan mengakses hukum. Ketiga, pengawasan puas mekanisme peradilan bisa berjalan, baik institusi-institusi pengawasnya (seperti mana komisi etik organisasi profesi, komisi-komisi negara dan awak pengawas internal institusi) maupun pengawas diplomatis seperti mana DPR dan Presiden andai kepala negara boleh optimal dalam mengawasi dan menggeser transparansi institusi peradilan, buat itu terdahulu bagi masyarakat cak bagi dekat dan cerdas dalam proses politik yang menghasilkan kepemimpinan nasional, melangkahi Pemilu. Karena dengan hasil pemilu nan baik, bukan sekedar proses pemilunya yang baik, akan menghasilkan pemimpin nan sadar dan berpihak pada penegakan hukum.

***

Sumur bacaan dan data:
• Dr. Jaenal Aripin, MA, Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Yustisi, 2010
• World Justice Project, Mondial Insight of Access to Justice, Findings from the World Justice Project General Population Poll in 45       Countries, 2018
• Mahkamah Agung, Rencana induk Perbaikan Kehakiman 2010-2035, 2010
• KontraS, YLBHI, PSHK dkk, Kriminalisasi Modus dan Kasus-kasusnya di Indonesia, 2016